
Oleh: Miswari, S.Pd. M.Ud*
Nawa Cita adalah sembilan prioritas yang ingin dicapai Presiden Jokowi. Tujuannya adalah mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian. Semua pihak, terutama para menteri dalam kabinet Pesiden Jokowi wajib memahami dengan baik cita-cita tersebut. Mereka juga dituntut mampu melaksanakan cita-cita tersebut terkait bidang masing-masing. Salah satu bidang terpenting yang harus dengan sangat tepat memaknain Nawa Cita adalah Menteri Pendidikan.
Nawa Cita telah dengan tegas memaktubkan bahwa menata kurukulum pendidikan harus mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan. Siswa tidak hanya dibimbing untuk sadar bahwa mereka adalah bagian dari lingkungan belajar, namun juga adalah bagian dari keseluruhan warga negara yang di pundak mereka masa depan bangsa digantungkan. Bila kesadaran ini terwujudkan dalam diri siswa, maka jangankan terhadap guru, kepada seluruh elemen bangsa mereka akan hormat. Mereka akan sadar bahwa setiap elemen bangsa punya tugas dan tanggungjawab yang sama dalam rangka memajukan negara Indonesia. Integritas ini dimulai dengan kesadaran akan kesatuan antara guru dan murid, bukan parsialitas peran sebagaimana dilihat oleh siswa belakangan ini, yang mana siswa melihat guru hanya sebagai orang yang bertugas mentransformasi informasi karena telah mereka dibayar.
Revolusi karakter bangsa dimulai dari revolusi karakter siswa. Cita-cita ini harus dilaksanaka secara proporsional antara pendidikan, pengajaran dan pelatihan. Sekolah bukan hanya sebuah tempat seorang guru mentransformasi data-data yang tertulis di dalam buku ke dalam kepala siswa. Sekolah adalah lembaga mengajarkan, mendidik dan melatih siswa agar dalam diri mereka terdapat nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan menjadi insan berbudi pekerti luhur.
Pendidikan harus dimaknai secara utuh. Ia adalah suatu proses gerak jiwa menuju kesempurnaannya. Tujuan pendidikan bukanlah membuat otak siswa penuh dengan data-data dari teori-teori yang tertulis di dalam buku ajar. Karena itulah Nawa Cita melihat kesatuan antara pendidikan, pengajaran dan pelatihan.
Siswa perlu dididik melalui pengajaran sejarah pembantukan bangsa. Mereka harus diberikan informasi yang akurat tentang latar belakang bangsa. Data-data sejarah harus dibebaskan dari kepentingan-kepentingan politis dalam penyajiannya. Siswa harus dilatih untuk menjadi subjek yang kritis sehingga pengetahuan yang mereka bukan hanya berdasarkan emosi sementara. Pengetahuan berdasarkan rasionalitas dapat menumbuhkan budi pekerti luhur, semangat patriotisme, dan cinta Tanah air. Langkah ini memberi jalan kepada penguatan jati diri bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara. Sehingga dapatlah terwujudnya peningatan kualitas hidup manusia Indonesia dan terciptanya produktivitas dan daya saing, maju, bangkit serta terhirdarlah bangsa kita sebagai bangsa lemah.
Peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan untuk menolak negara lemah dapat terlaksana dengan membangun negara dari pinggiran sehingga keppercayaan publik terhadap konstelasi perpolitikan dapat dikembalikan. Membangun masyarakat yang selama ini termarginalkan, sehingga mereka memiliki daya kritis yang rasional, adalah prasyarat memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan mencipkakan ruang-ruang dialog.
Pesiden Jokowi bersama rakyat Indonesia menaruh harapan yang besar kepada Menteri Pendidikan yang baru, Prof. Muhadjir Effendy. Dipilihnya mantan Rektor universitas Muhammadiyah Malang ini tentu bukan tanpa alasan kuat. Beliau adalah mantan aktivis pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sehingga ia punyak banyak sekali konsep dan memiliki keahlian memajikan pendidikan sesuai Nawa Cita.
Prof. Muhadjir adalah sosok yang sangat fleksibel dalam melaksanakan proses penyempurnaan pendidikan. Menurutnya, keberhasilan pendidikan tidak melulu dengan terlaksananya proses belajar-mengajar di kelas. Beliau adalah orang yang juga melihat tercapainya kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan, sangat dipengaruhi oleh hadirnya organisasi pelajar ekstra sekolah. Beliau dapat menggerakkan organisasi-organisasi pelajar luar sekolah seperti PII, IPNU, IPM dan lainnya untuk terlibat aktif dalam usaha membentuk mental pelajar yang memiliki rasa tanggung jawab sebagai bagian dari elemen bangsa.
Melihat latar belakang beliau, kiranya dialah orang yang tepat dalam mengejawantah impian Presiden yang tersusun dalam Nawa Cita. Sebagai sosok yang muncul dari akar rumput, Prof. Muhadjir sangat memahami kondisi konkrit masyarakat dan pelajar di daerah-daerah pinggiran. Beliau bukanlah sekelompok elit yang datang dari kehidupan kota, merancang agenda pendidikan di kota, lalu menerapkannya di desa-desa. Sehingga beliau dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat dan pelajar di pinggiran. Prof. Muhadjir telah tebukti mampu memberdayakan kaum muda dan pelajar ketika memperjuangkan stabilitas negara pada masa awal Orde Baru bersama pelajar dari masyarakat pinggiran.
Dalam hal ini, Prof. Muhadjir Effendy tidak hanya dapat disebut sebagai orang yang memahami sejarah pembentukan bangsa, namun juga terlibat aktif dalam membentuk sejarah bangsa. Beliau juga telah membuktikan diri sebagai sosok yang memiliki jiwa patriotisme dan cinta tanah air. Beliau adalah mantan aktivis PII dan HMI telah berhasil mempertahankan kedaulatan Negara dari serangan-serangan dari dalam dan luar tubuh Indonesia. Maka itu, kepada beliau harapan perbaikan bangsa, khususnya melalui pendidikan. Muhadjir Effendy diyakini banyak kalangan dapat dengan optimal memberdayakan para aktivi PII guna mewujudkan pendidikan berbasis kebhinnekaan sesuai Nawa Cita.
Primordialisme adalah lawan dari semangat kebhinnekaan. Ia Penyakit parah yang dapat mengancam kemajuan sebuah negara yang paling majemuk di dunia yaitu Indonesia. Pluralitas suku dan kebudayaan haruslah menjadi peluang kompetisi konstruktif bagi kemajuan bangsa. Bila kita tidak mampu menawarkan sebuah visi yang dapat mempengaruhi seluruh elemen bangsa, maka potensi pluralitas ini malah akan menjadi penyakit yang sangat luar biasa dan mengancam kesatuan dan menghambat kebangkitan Indonesia. PII melalui Falsafah Gerakan dan Khittah Perjuangannya mampu menjadikan pluralitas ini menjadi potensi positif dalam mencerdaskan dan menyatukan keragaman bangsa. PII tidak pernah membeda-bedakan asal daerah dan suku kadernya dalam berkompetisi di lingkunyannya. PII tidak pernah mendiskreditkan salah-satu daerah atau suku dan tidak pernah menempatkan suku dan daerah tertentu pada posisi yang khusus. Bahkan PII yang berasas Islam tidak pernah mempersoalkan mengenai khilafiyah dalam Rumah Tangga Islam. Prinsip inilah yang membuat kader PII tidak pernah mengenal yang namanya konflik agama, ras dan adat-budaya.
Berkat perjuangan yang tidak kenal lelah sejak awan kebangkitannya PII telah mampu menyumbangkan kader-kader terbaiknya di segala lini perpolitikan, kewirausahaan, militer, dunia pendidikan dan banyak bidang lainnya. Menyebarnya kader-kader PII ke hampir semua bidang diharapkan mereka mampu menjalankan tugas di bidang masing-masing guna mengusahakan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Sejak awal perekrutannya, PII senantiasa mendoktrinkan tiga komitmen pada kadernya yaitu komitmen kepelajaran, keislaman dan keindonesiaan. Indonesia sebagai negara besar secara geografis selain memiliki potensi sumber daya alam yang kaya juga memiliki potensi sumberdaya manusia yang cerdas ulet dan kompeten. Bila semua potensi yang dimiliki bangsa ini dikelola dengan baik, kita yakin bahwa Indonesia dengan cepat akan berubah menjadi negara maju, jauh meninggalkan negara-negara adidaya sekarang.
Pengelolaan atas aset bangsa yang kaya haruslah diamanahkan pada sosok-sosok yang memiliki komitmen kebangsaan yang kuat serta memiliki prinsip dasar yang teguh.Terutama, mereka harus memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Dan PII, mampu dan telah terbukti, menghasilkan segudang kader yang memenuhi indikator yang dimaksud.
Dalam kaca mata PII, pelajar adalah bagian penentu masa dapan bangsa. Melalui komitemen kepelajaran, keislaman dan keindonesian, PII dapat diandalkan untuk memiliki peran aktif dalam usaha mewujudkan kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan bagi segenap bangsa Indonesia dalam rangka mencapai kesadaran kebhinnekaan dan menyelesaikan setiap persoalan melalui dialog yang sehat.
PII yakin pelajar adalah sasaran terbaik dalam mewujudkan revolusi mental bangsa. Bagi PII, pelajar tidak boleh menjadi sasaran pengajaran semata. Dalam sitem belajar-mengajar, pelajar harus lebih aktif daripada pengajarnya. Sistem seperti ini akan menjadikan pemikiran pelajar lebih aktif serta memiliki nalar kritis dalam merespon sesuatu. Mereka diarahkan untuk tidak menerima sesuatu secara mentah apa adanya. Bagi PII, pelajar harus kritis dan dinamis. Hal ini akan menimbulkan progresifitas dalam diri setiap pelajar.
PII melihat pelajar harus memiliki semangat dan motivasi agar mereka belajar atas semangat sendiri, bukan karena desakan dan paksan dari pihak manapun. Dalam diri setiap pelajar harus ada kesadaran akan pentingnya semangat melatih potensi, membentuk mental tangguh, memperjuangkan cita-cita dan sukses studi bagi masa depan pribadi dan bangsa.
Islam yang didakwahkan PII adalah Islam yang murni dari Al-Qur’an dan Hadits yang terpercaya. PII tidak mengenal perbedaan mazhab, aliran, ras dan suku bangsa. PII mencita-citakan tegaknya Islam yang bebas dari pertengkaran mazhab dan perbedaan pemikiran keagamaan. Islam dalam pandangan PII adalah agama yang mengedepankan cinta kasih, toleransi dan menghargai pemeluk agama-agama lain di Indonesia.
Prof. Muhadjir berpandangan bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang masuknya heterogen dan keluarnya homogen. Pandangan demikian sepenuhnya diinspirasikan oleh Psi yang telah membesarkan Prof. Muhadjir dan tokoh-tokoh besar Nasional lainnya ini lebih suka memfungsikan diri seperti bengkel. Bagaimanapun tingkat keahlian, kemampuan, morah pelajar, akan menjadi insan yang beradab, cerdas dan beriman. Maka itu, Prof. Muhadjir dapat memainkan perannya dengan mengoptimalisasi peran dan fungsi PII.
Kita mengharapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru dapat mewujudkan pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional dengan secara tepat menafsirkan dan menerapkan Nawa Cita sehingga mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian. Tentunya ini hanya akan dapag terlaksana dengan dukungan maksimal dari segenap masyarakat, khususnya elemen pendidikan.
*Penulis Merupakan Aktivis Pelajar Islam Indonesia, Alumni Magister Filsafat Islam ICAS-Paramadina dan juga Dosen Filsafat di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa.