
KONFRONTASI- Ada dua kemenangan diraih oleh Presiden Barack Obama dari kunjungan Jokowi ke AS. Yakni kesiapan pemerintah RI untuk bergabung dengan TPP, dan kontrak pembelian shale gas senilai US$13 miliar oleh Pertamina kepada Corpus Christi Liquefaction.
Sebagai imbalan atas aksi borong gas tersebut, pihak Amerika Serikat menjanjikan investasi senilai sekitar US$ 7 miliar ke Indonesia. US$ 2,975 di antaranya untuk pembangunan pembangkit listrik di berbagai wilayah. Pemain terbesar adalah General Electric, yang nilai proyeknya mencapai US$ 2,475 miliar.
Sisanya, US$ 0,5 miliar dibagai-bagi untuk proyek non pembangkit listrik. Di antaranya adalah perluasan pabrik rokok Philip Morris dan minuman ringan Coca Cola, pengembangan tambang shale gas, penjernihan air dan penghematan listrik, peluncuran kartu debit syariah Master Card, dan pembangunan gerbong kereta api, pakan ternak, pabrik kertas sekuriti, kilang minyak, kabel transmisi listrik.
Jokowi tentu saja sadar bahwa dana yang akan keluar dari Indonesia ke Amerika Serikat lebih banyak ketimbang yang masuk. Hanya saja, bagi Jokowi, hal ini sangat penting untuk meyakinkan Washington bahwa Indonesia masih berkawan dengan Amerika Serikat. Dengan demikian, agar kedekatan Indonesia dengan Cina tidak perlu diganggu.
Selain itu, agar mengesankan bahwa keinginan Jokowi untuk memasukkan Indonesia ke dalam TPP tampak serius, meski persyaratannya terlalu sulit untuk dipenuhi. Di mata lembaga-lembaga think-tank dan media utama di Barat, banyak hal harus dikerjakan oleh Indonesia bila ingin bergabung dengan TPP. Dalam hal ini, meski terlalu sulit dilakukan oleh Indonesia, liberalisasi ekonomi adalah mutlak.
Media media paling berpengaruh di Amerika Serikat seperti New York Times, TIME, The Guardian, Associated Press, Reuters, Agence France Presse melihat sejumlah pekerjaan rumah harus dituntaskan oleh Jokowi agar Indonesia bisa benar-benar bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP). Pekerjaan rumah tersebut tersebar di bidang ekonomi, lingkungan, dan hak asasi manusia.
Di bidang ekonomi, tugas terbesar yang harus segera diselesaikan oleh Jokowi adalah menundukkan para pendukung proteksionisme ekonomi. Para pendukung isme ini menginginkan agar para pengusaha Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tak tergusur oleh kehadiran orang asing. Caranya adalah dengan membatasi masuknya pemain asing dalam perekonomian Indonesia.
Sebagaimana telah berulang kali diungkapkan oleh para jawara bisnis, para pengusaha Indonesia bahkan belum siap menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Inilah mengapa mereka menginginkan agar pemerintah melindungi para pengusaha nasional dengan menerapkan tariff impor yang tinggi, sistem perijinan yang sulit ditembus oleh pemain asing, dan insentif perpajakan kepada pemain lokal. Hal ini pernah diungkapkan oleh dua pebisnis besar yaitu MS Hidajat yang menjadi menteri perindustrian di era SBY; dan Rachmat Gobel, yang pernah menjadi menteri perdagangan di bawah Jokowi.
Kini, yang menjadi sorotan media-media dan lembaga think-tank berpengaruh di Barat seperti Rand Corporation adalah kenyataan bahwa di bawah Jokowi, pemerintah RI makin gandrung pada proteksionieme. Di antaranya adalah pemberlakuan syarat lebih ketat untuk konten lokal dan izin kerja bagi para profesional, dan kenaikan pajak impor. Padahal, justeru hal semacam ini yang harus dihapus bila mau menjadi anggota TPP karena arus barang dan jasa di antara sesama anggotanya harus bebas hambatan.
Menurut The Guardian, secara garis besar, kesulitan Indonesia menarik investor adalah nasionalisme ekonomi, kepentingan pribadi, dan korupsi.
Di bidang hukum, Matthew Pennington dari kantor berita Associated Press mengutip vice president untuk Asia - Kamar Dagang Amerika Serikat, Tami Overby, bahwa pemerintah RI harus serius membenahi kepastian hukum. Overby masih sulit menerima kasus korupsi yang dialami kontraktor dan karyawan Chevron di Indonesia yang menyebabkan mereka harus masuk penjara selama bertahun-tahun.
Hal semacam itu di mata Overby menyebabkan nilai perdagangan antara AS dengan Indonesia sangat kecil, yaitu US$28 miliar pada tahun lalau. Nilai ini bahkan lebih kecil dibandingkan dengan Vietnam yang mencapai US4 30,588 miliar. Hal yang sama juga terjadi di bidang investasi langsung dimana Indonesia kebagian porsi lebih kecil ketimbangan kebanyakan tetangganya.
Di bidang lingkungan, PR terbesar Jokowi adalah kebakaran hutan yang selalu dikaitkan dengan perluasan industri perkebunan dan kehutanan, dan pertambangan mineral.
Kepada Associated Press, Jonah Blank, pakar Asia dari RAND Corp., menyatakan bahwa kebakaran tersebut menyebabkan emisi gas rumah kaca dari Indonesia telah melampaui ekonomi Amerika Serikat. Sebelumnya Indonesia berada di peringkat ketiga setelah AS dan Cina.
Di bidang hak asasi manusia, sebagaimana dikutip oleh Julie Hirschfeld Davisoct di New York Time, salah direktur advokasi Asi dari Human Rights Watch, John Sifton, “Indonesia sedang merusak reputasinya sebagai masyarakat muslim yang toleran dengan memperlemah perlindungan terhadap kaum wanita, dan pemeluk agama minoritas.” Sifton juga melihat uji keperawanan bagi kaum wanita yang mau menjadi polisi sebagai pelecehan.
Sedangkan TIME mencatat, sisi buruk Jokowi terkait dengan sikap kerasnya mendukung hukuman mati bagi para penjahat Narkoba. Dia juga lebih suka tutup mulut dalam kasus kasus kekerasan agama seperti pembakaran rumah ibadah oleh kaum mayoritas, dan pelarangan peringatan hari keagamaan sebagaimana telah dilakukan oleh walikota Bogor terhadap kaum Syiah.
Hal lain yang menjadi catatan TIME adalah keengganan Jokowi untuk bersikap terhadap pembunuhan massal pasa 1965, yang menewaskan sekitar 500 ribu sampai 1 juta orang. Pada awal bulan ini, menurut TIME, seorang mantan pelarian politik berusia 77 tahun yang bermukim di Swedia bernama Tom Iljas di deprotasi dari Indonesia. Kesalahannya adalah mengunjungi kuburan massal yang diduga menjadi liang lahat ayahnya. (Indonesianreview/konf)
Ada dua kemenangan diraih oleh Presiden Barack Obama dari kunjungan Jokowi ke AS. Yakni kesiapan pemerintah RI untuk bergabung dengan TPP, dan kontrak pembelian shale gas senilai US$13 miliar oleh Pertamina kepada Corpus Christi Liquefaction.
Sebagai imbalan atas aksi borong gas tersebut, pihak Amerika Serikat menjanjikan investasi senilai sekitar US$ 7 miliar ke Indonesia. US$ 2,975 di antaranya untuk pembangunan pembangkit listrik di berbagai wilayah. Pemain terbesar adalah General Electric, yang nilai proyeknya mencapai US$ 2,475 miliar.
Sisanya, US$ 0,5 miliar dibagai-bagi untuk proyek non pembangkit listrik. Di antaranya adalah perluasan pabrik rokok Philip Morris dan minuman ringan Coca Cola, pengembangan tambang shale gas, penjernihan air dan penghematan listrik, peluncuran kartu debit syariah Master Card, dan pembangunan gerbong kereta api, pakan ternak, pabrik kertas sekuriti, kilang minyak, kabel transmisi listrik.
Jokowi tentu saja sadar bahwa dana yang akan keluar dari Indonesia ke Amerika Serikat lebih banyak ketimbang yang masuk. Hanya saja, bagi Jokowi, hal ini sangat penting untuk meyakinkan Washington bahwa Indonesia masih berkawan dengan Amerika Serikat. Dengan demikian, agar kedekatan Indonesia dengan Cina tidak perlu diganggu.
Selain itu, agar mengesankan bahwa keinginan Jokowi untuk memasukkan Indonesia ke dalam TPP tampak serius, meski persyaratannya terlalu sulit untuk dipenuhi. Di mata lembaga-lembaga think-tank dan media utama di Barat, banyak hal harus dikerjakan oleh Indonesia bila ingin bergabung dengan TPP. Dalam hal ini, meski terlalu sulit dilakukan oleh Indonesia, liberalisasi ekonomi adalah mutlak.
Media media paling berpengaruh di Amerika Serikat seperti New York Times, TIME, The Guardian, Associated Press, Reuters, Agence France Presse melihat sejumlah pekerjaan rumah harus dituntaskan oleh Jokowi agar Indonesia bisa benar-benar bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP). Pekerjaan rumah tersebut tersebar di bidang ekonomi, lingkungan, dan hak asasi manusia.
Di bidang ekonomi, tugas terbesar yang harus segera diselesaikan oleh Jokowi adalah menundukkan para pendukung proteksionisme ekonomi. Para pendukung isme ini menginginkan agar para pengusaha Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tak tergusur oleh kehadiran orang asing. Caranya adalah dengan membatasi masuknya pemain asing dalam perekonomian Indonesia.
Sebagaimana telah berulang kali diungkapkan oleh para jawara bisnis, para pengusaha Indonesia bahkan belum siap menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Inilah mengapa mereka menginginkan agar pemerintah melindungi para pengusaha nasional dengan menerapkan tariff impor yang tinggi, sistem perijinan yang sulit ditembus oleh pemain asing, dan insentif perpajakan kepada pemain lokal. Hal ini pernah diungkapkan oleh dua pebisnis besar yaitu MS Hidajat yang menjadi menteri perindustrian di era SBY; dan Rachmat Gobel, yang pernah menjadi menteri perdagangan di bawah Jokowi.
Kini, yang menjadi sorotan media-media dan lembaga think-tank berpengaruh di Barat seperti Rand Corporation adalah kenyataan bahwa di bawah Jokowi, pemerintah RI makin gandrung pada proteksionieme. Di antaranya adalah pemberlakuan syarat lebih ketat untuk konten lokal dan izin kerja bagi para profesional, dan kenaikan pajak impor. Padahal, justeru hal semacam ini yang harus dihapus bila mau menjadi anggota TPP karena arus barang dan jasa di antara sesama anggotanya harus bebas hambatan.
Menurut The Guardian, secara garis besar, kesulitan Indonesia menarik investor adalah nasionalisme ekonomi, kepentingan pribadi, dan korupsi.
Di bidang hukum, Matthew Pennington dari kantor berita Associated Press mengutip vice president untuk Asia - Kamar Dagang Amerika Serikat, Tami Overby, bahwa pemerintah RI harus serius membenahi kepastian hukum. Overby masih sulit menerima kasus korupsi yang dialami kontraktor dan karyawan Chevron di Indonesia yang menyebabkan mereka harus masuk penjara selama bertahun-tahun.
Hal semacam itu di mata Overby menyebabkan nilai perdagangan antara AS dengan Indonesia sangat kecil, yaitu US$28 miliar pada tahun lalau. Nilai ini bahkan lebih kecil dibandingkan dengan Vietnam yang mencapai US4 30,588 miliar. Hal yang sama juga terjadi di bidang investasi langsung dimana Indonesia kebagian porsi lebih kecil ketimbangan kebanyakan tetangganya.
Di bidang lingkungan, PR terbesar Jokowi adalah kebakaran hutan yang selalu dikaitkan dengan perluasan industri perkebunan dan kehutanan, dan pertambangan mineral.
Kepada Associated Press, Jonah Blank, pakar Asia dari RAND Corp., menyatakan bahwa kebakaran tersebut menyebabkan emisi gas rumah kaca dari Indonesia telah melampaui ekonomi Amerika Serikat. Sebelumnya Indonesia berada di peringkat ketiga setelah AS dan Cina.
Di bidang hak asasi manusia, sebagaimana dikutip oleh Julie Hirschfeld Davisoct di New York Time, salah direktur advokasi Asi dari Human Rights Watch, John Sifton, “Indonesia sedang merusak reputasinya sebagai masyarakat muslim yang toleran dengan memperlemah perlindungan terhadap kaum wanita, dan pemeluk agama minoritas.” Sifton juga melihat uji keperawanan bagi kaum wanita yang mau menjadi polisi sebagai pelecehan.
Sedangkan TIME mencatat, sisi buruk Jokowi terkait dengan sikap kerasnya mendukung hukuman mati bagi para penjahat Narkoba. Dia juga lebih suka tutup mulut dalam kasus kasus kekerasan agama seperti pembakaran rumah ibadah oleh kaum mayoritas, dan pelarangan peringatan hari keagamaan sebagaimana telah dilakukan oleh walikota Bogor terhadap kaum Syiah.
Hal lain yang menjadi catatan TIME adalah keengganan Jokowi untuk bersikap terhadap pembunuhan massal pasa 1965, yang menewaskan sekitar 500 ribu sampai 1 juta orang. Pada awal bulan ini, menurut TIME, seorang mantan pelarian politik berusia 77 tahun yang bermukim di Swedia bernama Tom Iljas di deprotasi dari Indonesia. Kesalahannya adalah mengunjungi kuburan massal yang diduga menjadi liang lahat ayahnya.
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/menghamburkan-us-13-miliar-...
Ada dua kemenangan diraih oleh Presiden Barack Obama dari kunjungan Jokowi ke AS. Yakni kesiapan pemerintah RI untuk bergabung dengan TPP, dan kontrak pembelian shale gas senilai US$13 miliar oleh Pertamina kepada Corpus Christi Liquefaction.
Sebagai imbalan atas aksi borong gas tersebut, pihak Amerika Serikat menjanjikan investasi senilai sekitar US$ 7 miliar ke Indonesia. US$ 2,975 di antaranya untuk pembangunan pembangkit listrik di berbagai wilayah. Pemain terbesar adalah General Electric, yang nilai proyeknya mencapai US$ 2,475 miliar.
Sisanya, US$ 0,5 miliar dibagai-bagi untuk proyek non pembangkit listrik. Di antaranya adalah perluasan pabrik rokok Philip Morris dan minuman ringan Coca Cola, pengembangan tambang shale gas, penjernihan air dan penghematan listrik, peluncuran kartu debit syariah Master Card, dan pembangunan gerbong kereta api, pakan ternak, pabrik kertas sekuriti, kilang minyak, kabel transmisi listrik.
Jokowi tentu saja sadar bahwa dana yang akan keluar dari Indonesia ke Amerika Serikat lebih banyak ketimbang yang masuk. Hanya saja, bagi Jokowi, hal ini sangat penting untuk meyakinkan Washington bahwa Indonesia masih berkawan dengan Amerika Serikat. Dengan demikian, agar kedekatan Indonesia dengan Cina tidak perlu diganggu.
Selain itu, agar mengesankan bahwa keinginan Jokowi untuk memasukkan Indonesia ke dalam TPP tampak serius, meski persyaratannya terlalu sulit untuk dipenuhi. Di mata lembaga-lembaga think-tank dan media utama di Barat, banyak hal harus dikerjakan oleh Indonesia bila ingin bergabung dengan TPP. Dalam hal ini, meski terlalu sulit dilakukan oleh Indonesia, liberalisasi ekonomi adalah mutlak.
Media media paling berpengaruh di Amerika Serikat seperti New York Times, TIME, The Guardian, Associated Press, Reuters, Agence France Presse melihat sejumlah pekerjaan rumah harus dituntaskan oleh Jokowi agar Indonesia bisa benar-benar bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP). Pekerjaan rumah tersebut tersebar di bidang ekonomi, lingkungan, dan hak asasi manusia.
Di bidang ekonomi, tugas terbesar yang harus segera diselesaikan oleh Jokowi adalah menundukkan para pendukung proteksionisme ekonomi. Para pendukung isme ini menginginkan agar para pengusaha Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tak tergusur oleh kehadiran orang asing. Caranya adalah dengan membatasi masuknya pemain asing dalam perekonomian Indonesia.
Sebagaimana telah berulang kali diungkapkan oleh para jawara bisnis, para pengusaha Indonesia bahkan belum siap menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Inilah mengapa mereka menginginkan agar pemerintah melindungi para pengusaha nasional dengan menerapkan tariff impor yang tinggi, sistem perijinan yang sulit ditembus oleh pemain asing, dan insentif perpajakan kepada pemain lokal. Hal ini pernah diungkapkan oleh dua pebisnis besar yaitu MS Hidajat yang menjadi menteri perindustrian di era SBY; dan Rachmat Gobel, yang pernah menjadi menteri perdagangan di bawah Jokowi.
Kini, yang menjadi sorotan media-media dan lembaga think-tank berpengaruh di Barat seperti Rand Corporation adalah kenyataan bahwa di bawah Jokowi, pemerintah RI makin gandrung pada proteksionieme. Di antaranya adalah pemberlakuan syarat lebih ketat untuk konten lokal dan izin kerja bagi para profesional, dan kenaikan pajak impor. Padahal, justeru hal semacam ini yang harus dihapus bila mau menjadi anggota TPP karena arus barang dan jasa di antara sesama anggotanya harus bebas hambatan.
Menurut The Guardian, secara garis besar, kesulitan Indonesia menarik investor adalah nasionalisme ekonomi, kepentingan pribadi, dan korupsi.
Di bidang hukum, Matthew Pennington dari kantor berita Associated Press mengutip vice president untuk Asia - Kamar Dagang Amerika Serikat, Tami Overby, bahwa pemerintah RI harus serius membenahi kepastian hukum. Overby masih sulit menerima kasus korupsi yang dialami kontraktor dan karyawan Chevron di Indonesia yang menyebabkan mereka harus masuk penjara selama bertahun-tahun.
Hal semacam itu di mata Overby menyebabkan nilai perdagangan antara AS dengan Indonesia sangat kecil, yaitu US$28 miliar pada tahun lalau. Nilai ini bahkan lebih kecil dibandingkan dengan Vietnam yang mencapai US4 30,588 miliar. Hal yang sama juga terjadi di bidang investasi langsung dimana Indonesia kebagian porsi lebih kecil ketimbangan kebanyakan tetangganya.
Di bidang lingkungan, PR terbesar Jokowi adalah kebakaran hutan yang selalu dikaitkan dengan perluasan industri perkebunan dan kehutanan, dan pertambangan mineral.
Kepada Associated Press, Jonah Blank, pakar Asia dari RAND Corp., menyatakan bahwa kebakaran tersebut menyebabkan emisi gas rumah kaca dari Indonesia telah melampaui ekonomi Amerika Serikat. Sebelumnya Indonesia berada di peringkat ketiga setelah AS dan Cina.
Di bidang hak asasi manusia, sebagaimana dikutip oleh Julie Hirschfeld Davisoct di New York Time, salah direktur advokasi Asi dari Human Rights Watch, John Sifton, “Indonesia sedang merusak reputasinya sebagai masyarakat muslim yang toleran dengan memperlemah perlindungan terhadap kaum wanita, dan pemeluk agama minoritas.” Sifton juga melihat uji keperawanan bagi kaum wanita yang mau menjadi polisi sebagai pelecehan.
Sedangkan TIME mencatat, sisi buruk Jokowi terkait dengan sikap kerasnya mendukung hukuman mati bagi para penjahat Narkoba. Dia juga lebih suka tutup mulut dalam kasus kasus kekerasan agama seperti pembakaran rumah ibadah oleh kaum mayoritas, dan pelarangan peringatan hari keagamaan sebagaimana telah dilakukan oleh walikota Bogor terhadap kaum Syiah.
Hal lain yang menjadi catatan TIME adalah keengganan Jokowi untuk bersikap terhadap pembunuhan massal pasa 1965, yang menewaskan sekitar 500 ribu sampai 1 juta orang. Pada awal bulan ini, menurut TIME, seorang mantan pelarian politik berusia 77 tahun yang bermukim di Swedia bernama Tom Iljas di deprotasi dari Indonesia. Kesalahannya adalah mengunjungi kuburan massal yang diduga menjadi liang lahat ayahnya.
(Konf/Indonesianreview)