
KONFRONTASI-Dalam lawatan ke Amerika Serikat (AS), Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan, Indonesia akan bergabung dengan Kemitraan Trans-Pasifik (Trans Pacific Partnership/TPP). Akan tetapi, pernyataan Jokowi tersebut dinilai hanya latah.
Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati, menuturkan sebaiknya pemerintah Indonesia melakukan perhitungan-perhitungan yang tepat dalam mempertimbangkan Indonesia akan bergabung dalam Kemitraan Trans-Pasifik, tidak perlu latah karena negara kompetitor lain yang sudah lebih dulu bergabung.
Dia menyebut Vietnam, yang terkenal dengan industri tekstilnya, begitu pun dengan Indonesia yang juga mempunyai dan sangat ingin mendorong industri tekstil untuk maju.
"Yang paling mendesak di industri tekstil memang, di mana Vietnam menjadi tempat utama yang prioritas jadi ancaman kita. Vietnam masuk TPP. Nah, tapi enggak mungkin kalkulasinya ketika kompetitor masuk TPP, kita latah ikut TPP. Kan masih banyak strategi lain," ujarnya kepada Okezone.
Dia menerangkan, Vietnam bergabung Kemitraan Trans-Pasifik agar industri tekstilnya mampu bersaing dan mendapatkan kemudahan dari AS. Oleh sebab itu, ada baiknya, pemerintah Indonesia dengan AS lakukan suatu kesepakatan atau perjanjian antara dua negara (bilateral) saja. Pasalnya, Indonesia mempunyai jumlah impor yang besar ke negara Paman Sam tersebut.
"Impor AS besar dan banyak dari kita. Mereka juga ekspor dari kita, sehingga tidak semua kebutuhan itu tidak harus selalu diselesaikan dengan perjanjian kawasan," terang dia.[mr/okz]