"Jika kita tak bisa menyamakan perbedaan, kita tetap bisa membuat dunia lebih aman agar perbedaan kita bisa tumbuh berdampingan dengan damai."
Itu kutipan John F Kennedy yang layak menjadi pedomam bagi siapapun yang ingin membangun negara modern dan peradaban. Suka atau tak suka, evolusi peradaban menuju pada semakin beragamnya gagasan dan gaya hidup. Semakin modern sebuah masyarakat, semakin ia mengalami diversity.
Seruan paling bijak menghadapi hukum alam evolusi peradaban: Hiduplah damai dalam keberagaman itu. Musuh bersama bukan perbedaan gagasan. Apapun gagasan itu. Musuh bersama adalah kekerasan dan pemaksaan kehendak yang membuat keberagaman itu tak bisa berdampingan secara damai.
Dengan prinsip di atas, saya menyarankan pemerintah untuk lebih berhati-hati mengambil langkah hukum membubarkan sebuah organisasi. Harus direnungkan dengan keras, langkah itu justru akan lebih mampu merawat keberagaman Indonesia? Atau justru akan mencabik-cabik keberagaman Indonesia lebih jauh.
Adakah peluang HTI mengubah haluan negara Indonesia? Adakah peluang HTI mengubah NKRI menjadi khilafah? Adakah kekerasan sistematis yang dilakukan HTI yang membahayakan ruang publik kita?
Dua alasan di bawah ini membuat saya menyarankan pemerintah lebih berhati-hati membubarkan sebuah organisasi.
-000-
Pertama, adakah peluang HTI mengubah haluan negara?
Mengubah haluan negara hanya bisa lewat parlemen dan pemerintahan. Membuat UU saja membutuhkan proses ketat lobi partai politik di DPR dan pemerintahan eksekutif. Bulak balik berbulan-bulan belum tentu DPR dan pemerintah selesai merumuskan sebuah UU.
Apalagi untuk mengubah konstitusi negara. Selama era reformasi sejak 1998, hampir 20 tahun lalu, amandemen konstitusi hanya terjadi satu kali.
Tentu saja perangkat politik yang bisa mengubah haluan negara hanya partai politik. Tanpa partai politik, tak ada pintunya mengubah haluan negara.
Sementara empat partai politik terbesar partai sangat kuat elemen nasionalisnya. PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, selaku empat partai terbesar harus ditaklukkan dulu untuk mengubah haluan negara. Mungkinkah PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat mendukung Khilafah HTI misalnya? Itu hal yang mustahil. Atau dalam bahasa gaul, dibalik itu "hil yang mustahal!
Di luar DPR, opini publik Indonesia punya nada yang sama. Silahkan dilakukan survei nasional. Di atas 70 persen populasi Indonesia mengidealkan Demokrasi Pancasila. Hanya di bawah 10 persen yang inginkan negara Islam.
Dari 10 persen itu, jauh lebih sedikit lagi yang inginkan sistem khilafah meleburkan NKRI dalam pan nasionalisme yang menjadi gagasan HTI tersebut. Bagaimana bisa mengubah batin Indonesia yang sudah terbentuk mengakar ratusan tahun?
Baik dari sisi politik formal, ataupun opini publik, tak ada celah mengubah haluan negara.
Satu satunya cara mengubah haluan negara dengan angkat senjata memimpin pemberontakan. Maukah dan mampukah HTI melakukannya?
Yang akan dilawan oleh siapapun yang melakukan pemberontakan senjata tak hanya TNI. Mereka juga perlu melawan para pengusaha, media, civil society dan mayoritas penduduk Indonesia.
Dengan melihat realitas praktis di atas, tak ada yang ditakutkan dengan gagasan ataupun eksistensi HTI. Ibarat taman bunga, kembang HTI hanya tumbuh kecil saja di pojok sana. Ia tak akan bisa memakan dan menyeragamkan ribuan bunga yang berbeda di taman itu.
-000-
Kedua: Bukankah keberagaman itu tak terhindarkan?
Saya tak setuju pandangan tuan. Tapi hak tuan menyampaikan pandangan itu akan saya bela sampai mati. Itu pernyataan terkenal dari Voltaire. Sikap Voltaire menjadi spirit demokrasi.
Bahkan dalam khazanah yang lebih tua, Islampun punya prinsip yang sama: tak ada paksaan dalam agama. Jika agama saja tak perlu dan tak bisa dipaksa, apalagi gagasan yang lebih rendah dari sakralitas agama.
Keberagaman adalah ongkos yang tak terhindari untuk hidup di dunia modern. Apa daya begitu banyak gagasan dan gaya hidup, termasuk ideologi, pemikiran yang berbeda dan saling bertentangan.
Hak Asasi Manusia dan Demokrasi lahir justru untuk mengatur keberagaman itu agar bisa hidup berdampingan dengan damai.
Pastilah yang fanatik sunni tak suka dengan fanatik syiah. Begitu pula sebaliknya. Yang fanatik percaya Tuhan tak suka yang fanatik anti Tuhan. Begitu pula sebaliknya.
Yang fanatik hetroseksual tak suka LGBT. Yang fanatik pro keberagaman tak suka gagasan yang anti keberagaman dan yang intoleran.
Tapi apa daya? Itu semua evolusi kesadaran masing- masing individu. HAM lahir untuk melindungi hak individu meyakini semua gagasan di atas. Di dunia modern, yang unik, lucu, norak, ekstrem lahir tak terhindari. Suka atau tak suka, silahkan telan!
Demokrasi lahir untuk memberikan semua gagasan itu kesempatan yang sama hidup dan bertarung di ruang publik secara damai. Yang ekstrem A punya hak hidup. Yang ekstrem anti A diberikan hak hidup yang sama. Silahkan bersinerji dengan cerdas dan non-kekerasan.
Justru dari sinerji ribuan gagasan yang berbeda, bahkan bertengangan, bisa saling kupas, saling isi, saling tambah, saling kurang, menjadi sintesa kultural yang lebih tinggi.
Yang dilarang hanyalah pemaksaan dengan kekerasan dan tindakan kriminal. Itu sebabnya mengapa KKK yang sangat rasis dan memuja supremasi kulit putih tetap boleh hidup di Amerika Serikat. Hak hidup yang sama diberikan kepada Nation of Islam yang memuja supremasi kulit hitam.
Pasar bebas demokrasi memiliki hukumnya sendiri. Mereka yang ekstrem selalu minoritas. Gagasan mereka akan dilawan bukan saja oleh ektrem di ujung lainnya. Mereka juga akan dilawan oleh mayoritas yang ada di tengah.
Namun pertukaran gagasan antar mereka yang beragaman itu memajukan peradaban. Gerakan supremasi kulit hitam misalnya bisa tetap memberikan inspirasi pentingnya keadilan ekonomi bagi kulit hitam. Selalu mungkin ada akar ketimpangan ekonomi dibalik gagasan ekstrem itu. Hadirnya kelompok ektrem itu bisa menjadi simulasi perbaikan sistem makro.
Satu satunya yang diharamkan dalam keberagaman adalah kekerasan, pemaksaan kehendak dan kriminal. Pelaku kekerasan dari KKK yang membunuh dan menyalip kulit hitam dikejar aparat dan dihukum keras.
Film Holywood Missipi Burning sangat epik menggambarkan itu.
Tapi organisasi KKK dan gagasan supremasi kulit putih dibiarkan hidup. Individu tak boleh dipenjara hanya karena gagasannya.
HTI, seaneh apapun gagasannya dapat diperlakukan serupa. Namun, sekali ada pimpinan dan pengikut HTI melakukan kekerasan, ia harus ditindak.
Prinsip ini berlaku juga untuk organisasi lain. Bahkan pembela Pancasilapun jika melakukan kekerasan harus pula ditindak.
Kekerasan, bukan gagasan, yang menjadi musuh bersama.
-000-
Kita menghargai upaya pemerintah untuk merawat keberagaman. Justru karena kita cinta keberagaman. Justru karena kita membela Pancasila. Justru karena kita rindukan demokrasi. Kita memberi saran pemerintah untuk lebih berhati-hati membubarkan organisasi. Pikirkan presedennya. Pikirkan apa yang disebut "unintended consequence," efek tak terduga.
Organisasi dapat dibubarkan. Tapi gagasan di dalamnya selalu bisa tumbuh justru dalam bentuk yang lebih berbahaya jika bergerak di bawah tanah. Gagasan apapun lebih baik resmi dan terpantau, ketimbang tak resmi dan gerilya diam diam.
Kita tidak hidup 24 jam melalukan kebaikan dan keburukan. Lebih baik individunya yang dihukum jika ia terbukti melakukan kejahatan. Itupun harus lewat pengadilan.
9 Mei 2017
_________________________
Oleh: Denny JA